Tampilkan postingan dengan label Dalam tulisan. Tampilkan semua postingan

kau dan aku  

Penyerat Hijau

kau pergi sendirian
menuju kota sibuk dan tenggelam di hiruk pikuk
lalu mulai mabuk perempuan butuh peluk
aku di kepalamu kau tumbuk
hingga membentuk serbuk

sedang di sini
aku tinggal sendirian
memungut suntuk menghitung batuk di janji lapuk
hari-hari memburuk isi hati meremuk
mayatku tergeletak membusuk

-ki 100409

kopi bagimu  

Penyerat Hijau

kau pernah menceritakan sesuatu yang kau gemari selain puisi dan dirinya,
sesuatu yang sering membuatmu bertemu dengan hal yang membentuk benda yang kau cinta
dan dia tak pernah bisa mengerti kenapa padanya, kau bisa menemui hal yang telah tiada

sebab yang dia tahu selain tak sesegar teh atau selegit cokelat
ia hanya tumpukan kafein lebih tinggi dari teh dan serbuk hitam yang pahit jika tersaji sendirian
ia tak pernah baik bagi lambung penyakitan dan lidah miliknya yang benci akan pahit

tapi untukmu ia menjadi sahabat, sahabat pengingat rasa pahit yang lebih baik daripada pahit yang terlahir dari dirinya
hingga genangan cinta kepadanya, tampak begitu getir
di barisan puisi-puisi yang sangat kau puja


-ki 290309

hujan dan mata  

Penyerat Hijau

di deras titik air
getir mengembun merayap pada balik kaca
meniupkan uap rindu di sebongkah dada
memilin helai cerita terburai ditepi lamun

di nyalang dua biji mata
kepayahan melanda asa
nurani terperangkap kesan usang masa
mengais-ngais rahasia sebuah epilog drama perpisahan

di antara hujan dan mata
lalu lintas ingatan begitu hiruk
dipenuhi kendaraan tanpa tujuan
berputar-putar menelisik areal jalan nasib yang entah


100309 -ki

nurani dan senja  

Penyerat Hijau

perempuan berkalung liontin pilu
dalam balutan gaun berenda luka
seenaknya menjatuhkan airmata di beranda
sambil menikmati panorama senja yang menua

pada secarik kertas oleh jemari gemulai
di tulisnya sebuah kondisi nurani tentangnya juga senja
seiring dengan gerak maju lintas waktu
: suasana kelam kian memekat


250209

dalam sebuah kereta  

Penyerat Hijau

kupandangi setiap sudut stasiun hiruk
dari jendela kereta yang hendak beranjak
kumpulkan lembar potret duka yang terpajang
di sepanjang areal
dengan deru mesin dan lengking peluit yang tertinggal

seulas senyum sembunyi di gemeratak hati
: perih
airmata menyingkap rindu yang patah
suara meringkuk di ujung tenggorokan
tersaput nuansa biru sebuah sampah masa

perjumpaan dengan benda, ruang, juga panorama
yang menyimpan tanda mata lampau
adalah sesi tersukar bagi penyembuhan dada kiriku
sebab selalu saja seribu mata pisau-mu
menikamku tanpa babibu


190209

ternyata  

Penyerat Hijau

aku bukanlah sebuah hujan
menghapus dahaga penantian
menggemburkan permukaan tanahmu
agar ribuan bunga bersemi indah di sana

aku hanya sebuah gerimis tipis
yang rintik-rintiknya jatuh
di atas hamparan pasir kisahmu
: tak berbekas

160209

potret remaja  

Penyerat Hijau

gambar-gambar berbicara dalam usang tentang kenangan
kisah pacar pertama sepasang monyet
meski kita tersebut sebagai dara

masih tersimpan lekat di kepalaku
kala kita sisakan jejak pada hamparan teh yang begitu luas di satu kota
binar remaja menjelma bara pada setiap tawa dan kata
lautan hijau di mata meminta kita untuk terus menghela udara
mengejar mimpi dalam sangkar cita yang masih berwujud entah
waktu terseduh dengan poci berisi teh dan segelas gula batu juga cerita
gurat senyum dan bias rupa ria mengambang di dasar ampas teh kasar
berlalulah kita dari sana usai lelah hamburkan suka

masa terus bersinambung menuju dewasa lalu nanti mulai merenta
seulas senyum selalu saja menggores tiap lembar gambar
hayati tiap potong wajah sembari melipatnya dalam ruang dada
tentang satu potret masa remaja istimewa kita

cheers!!... :)

200109

bicara kepada-mu (israel)  

Penyerat Hijau

entah, apakah idealismu bersyarat banjir darah
dari hujan roket, peluru, ranjau dan keserakahan-mu
jelma genangan mayat yang berserakan
tanpa paut pekat dosa dan pahala carut marut-mu

bumi lebur tanpa etika dan moral dalam angkara murkamu
suara kepedihan mencekam
taburan aroma anyir nganga luka
menyengat di setiap sudut kota Gaza

nestapa tampak nyalang di raut muka Gaza
kehilangan adalah saudara jauh hanya sesekali datang
mendadak menjadi kekasih setia menghampiri
merenggut bagian terkasih di hati yang tengah cedera

suasana tampak hitam mengenaskan
merah sebagai warna amarah luka ketakutan kepasrahan
nyawa serupa debu setitik noda di mata-mu
sedang untuk kami satu nyawa adalah harapan perdaban


140109

berserah akhir  

Penyerat Hijau

usai ribuan sajak merangkum sipu sapa
pada hamparan ruang beralamat remang
kerinduan beradu mata mengetuk pintu
menandangkan henyak sadar di pelataran nurani

galau bergerilya disudut tenang
menancapkan onak pada setiap laju detik
paksa kesepian menari sunyi
jemari tak berdaya belai seraut rupa

dalam ambang ini jarak mewakili kuasaNya
ranum debar dalam hati perlahan meneduh
setia memintal harap dan tengadah padaNya
terbangkan asa tak hendak memaksa

120109

malam TahBar  

Penyerat Hijau

kunikmati kamu seperti biasa saja
tanpa bising terompet
pun silau nyala bunga api

hanya duduk di beranda
berdoa sembari berkaca
pada pelepah masa

menahan air mata
dan tawa tanpa suara
esok semoga tampak beda

lupa cara menulis surat setia untukmu  

Penyerat Hijau

ku maksudkan ini sebagai surat
yang acapkali kau pinta setiap tiba purnama
di secarik kertas ini
tuliskan berbaris-baris kalimat

sudah kucoba untuk mengingat
bagaimana letak susunan juga isi surat
seperti biasanya kukirim padamu
tapi aku lupa kali ini!

sungguh tak sanggup mesti mengurai lupa ini
terlalu rumit ku paparkan dengan bentuk kata
kenapa mesti lupa dengan kebiasaan

barangkali memang tak ada kesetiaan untuk ingat
atau melupa untuk setia adalah biasa
bisa juga setia adalah terbiasa

baiknya begini saja
anggap saja ini surat dariku seperti biasanya
agak aneh memang

tapi coba kau cari saja sendiri
kenapa aku tiba-tiba menjadi aneh
lupa cara menulis surat untukmu kali ini

patah hati  

Penyerat Hijau

kini kepatahan bertandang ke halaman rumah puisi
juga persimpangan jalan tempat sapa menjumpa hangat
dalam leram berbatas kata
langkah kaki rindu terkantuk kerikil lara
perlahan mimpi buruk semakin nyata
sepi pun terus berjaya memimpin sunyi
menindas suara tawa
lalu memasukannya ke lemari berpintu besi
lelehan airmata mewarnai peristiwa
ratap miris bersanding kecewa
waktu selalu menyisakan pelepah pahit
pada detik jelaga yang semakin sempit

Sementarakah  

Penyerat Hijau

terjejak sebuah jarak panjang
pada langit yang terbiasa berawan
udara terhirup pelan dan dalam
buang sesak yang terselip didada
selalu saja ada rahasia yang terkuak
dari rentetan perpisahan
sepi yang diam-diam menyingkap
kerinduan sekeping hati
pedih membungkam sesapa
hanyut terabai bersama masa
hapus kata yang pernah menyerta
sementara seperti biasa
atau ini memang akhirnya

kertas bukan hati  

Penyerat Hijau

kepada sang lelaki yang menebar benih kesahajaan
pada sanubari yang masih berjelaga pada berwarna-warni duniawi
kaitkanlah saja umpama pada kertasmu yang bertebaran penuh tinta
deru yang terbawa biar waktu yang menghakimi
sampan pada laut yang terombang-ambing itu biarkan saja berkeliling waktu
intaian laju badai dan putaran air mengalir telah ia pasrahkan
pada suatu titik kekal di mana sampan pun dapat sekilas terhapus hilang entah kemana
kalaulah memahami telah sulit maka menjadi bijak akanlah semakin sulit
sebab ego menatahkan keeksistensianya lalu hanya cela dan ketidaksempurnaanlah
yang membias pada titik ukur kepercayaan
kertas hanyalah sebuah kertas menjadi sesuatu tetaplah hanya sebuah kertas
bukan penunjuk intuisi

senyuman-ku  

Penyerat Hijau

dalam sebuah senyuman
seraut rupa belum juga kabur
berdiam di sana menghangatinya
dengan dekap sangat erat

pagi pun sunyi  

Penyerat Hijau

Di pagi yang sebegini sunyi
desir ngilu meruang melingkari hati
ada isak ingin keluar dari peraduan
perlahan
mengambang
kemudian
meluruh
sengguk


catatan  

Penyerat Hijau

pada catatanku
lembarlembar tentang rindu untukmu
masih terus saja sibuk ku tulisi
penuh dengan bara yang tersisa
di tungku rasa;
rahasia doa cita asmara kita
yang berlalu oleh jengkal-jengkal waktu

sholat maghrib  

Penyerat Hijau

saat senja mulai hilang
diperdengarkanlah suara-Mu
merdu
mengajakku
berwudu
tuk bersujud
menyembah-Mu

curah kata  

Penyerat Hijau

pada bentang waktu
dan jarak menyisa pilu
kata menjadi saksi
sebagai pelangi jiwa
mimpi-mimpi penyempurna
di lelingkar carutmarut rasa
bingkaian leluka

dan hanya pada kekata lah
resah mampu menganak sungai
menghinggap pada kosa muram
merapat pada barisan huruf
entah berbentuk apa..

cukup memeluk diri  

Penyerat Hijau

dan sebagaimana pun ada diwaktu lalu
kembali bayang asmara terlukis pada pendatang
yang nantinya pun pergi dalam kedinian
entah ada akhir atau terabai mengambang
dalam kenang bebait puisi atau lamunan

enggan tuk kembali menjejak
lingkaran wewarna absurd rasa
perputaran pada poros nasib masing
isi hanya penantian rindu tangis tawa
membeban pada pelataran jiwa rapuh

sudah saja
cukup memeluk diri!


sebab
kesendirian pun telah memberi warna
dengan sendirinya